Siaran Pers Bersama: Koalisi masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil menyampaikan laporan kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on the Elimination of Racial Discrimination – CERD), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial yang baru saja diundangkan
Pada tanggal 4 November 2020, dua puluh empat (24)
organisasi masyarakat adat dan HAM bersama Forest Peoples Programme
menyampaikan laporan kepada Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial
(UN-CERD) yang meminta agar Komite tersebut mempertimbangkan situasi masyarakat
adat di Indonesia, khususnya di bawah prosedur peringatan dini dan tindakan
segera yang dimiliki oleh Komite CERD.
Laporan ini berfokus pada Undang-Undang
Cipta Kerja (UU Nomor 11 Tahun 2020) yang diundangkan pada tanggal 3 November
oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo. UU Cipta Kerja disahkan secara tergesa-gesa
dan dapat dilihat sebagai sebuah peraturan yang regresif dan sangat
diskriminatif. Undang-Undang ini menjadi salah satu perubahan legislasi yang
terbesar dalam sejarah Indonesia dan disahkan di tengah pandemi Covid-19 tanpa
konsultasi dan partisipasi yang memadai dari masyarakat adat.
Amandemen menyeluruh terhadap hampir
delapan puluh (80) undang-undang, membatalkan perlindungan yang sudah terbatas
atas hak-hak masyarakat adat dan memberikan hak istimewa bagi pelaku bisnis,
khususnya bagi perusahaan perkebunan dan industri ekstraktif. Pada saat yang
sama, RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat telah mandeg
pembahasannya selama hampir satu dekade. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan
saat ini lebih berpihak pada kepentingan bisnis dibandingkan perlindungan atas
hak-hak masyarakat adat.
Amandemen
paling penting yang diusulkan dalam UU Cipta Kerja mencakup antara lain:
1. Pengenalan kembali konsep kolonial terra
nullius (‘tanah tak bertuan”) yang memungkinkan Negara Indonesia untuk
menolak hak atas tanah masyarakat adat melalui definisi yang sewenang-wenang
atas ‘tanah terlantar’ dan juga mendapatkan tanah tanpa Persetujuan Atas Dasar
Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dan tanpa kompensasi yang adil.
2. Kriminalisasi dan pemenjaraan atas praktik-praktik dalam masyarakat
hukum adat dan pemberian sanksi yang lebih ringan bagi aktor-aktor korporasi
yang menjadi sekedar sanksi administratif atas pelanggaran di bidang lingkungan
dan kehutanan.
3. Penghapusan persyaratan-persyaratan yang sebetulnya sudah lemah dalam
implementasi, termasuk persyaratan penilaian dampak lingkungan, yang harus
dipenuhi oleh perusahaan sebelum mendapatkan ijin yang diperlukan untuk
melanjutkan kerja di tanah masyarakat adat.
Koalisi organisasi masyarakat sipil meminta Komite CERD PBB untuk
mendesak Indonesia agar mencabut UU Cipta Kerja dan memastikan penghormatan
atas hak partisipasi masyarakat adat dalam proses-proses legislasi selanjutnya
yang berdampak pada hak-hak masyarakat adat dengan memastikan bahwa produk
undang-undang yang baru melindungi hak-hak substantif masyarakat secara penuh
dan setara.
Juru
Bicara
"Karena Undang-Undang ini mengenai investasi, ia sama
sekali tidak melindungi tanah masyarakat adat. UU ini justru akan mempermudah
perusahaan untuk merampas lahan”[1].
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN).
“Melihat adanya potensi malapetaka
diatas, kami meminta Presiden, DPR, dan DPD RI untuk sukarela membatalkan
pengesahan UU Cipta Kerja. Karena, selain cacat dalam proses pembentukannya, UU
ini dinilai berisikan pasal-pasal bermasalah”[2].
Linda Rosalina, Campaigner di TuK Indonesia.
“Kami meminta pemerintah mencabut UU Cipta Kerja
dan seharusnya menetapkan dan memprioritaskan kebijakan penanganan ancaman
Corona”[3].
Inda
Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit
Watch.
Untuk
informasi lebih lanjut:
Indonesia
Norman
Jiwan: +62 813 1561 3536
Rukka
Sombolinggi: +62 812 1060 7942
Nikodemus
Ale: +62 812 5686 5454
UK
Angus MacInnes:
+44 752 681 9460
Daftar organisasi yang menyampaikan laporan:
1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Wilayah Kalimantan
Barat (PW AMAN Kalbar)
3. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Daerah Bengkayang,
Singkawang dan Sambas (AMAN BENGSIBAS)
4. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Wilayah Tano Batak (PW
AMAN Tano Batak)
6. Lembaga Bela Banua Talino (LBBT)
7. Lembaga Bentang Alam Hijau (LemBAH)
8. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
9. Perkumpulan Nurani Perempuan (Women’s Conscience)
10. Hutan Kita Institute (HaKI)
11. Perkumpulan Sawit Watch
12. Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA)
13. Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK
INDONESIA)
14. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI
Eksekutif Nasional/Friends of the Earth Indonesia)
15. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Kalimantan Barat (WALHI Kalbar)
16. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Jambi
(WALHI Jambi)
17. Yayasan Padi Indonesia
18. Bahtera Alam
19. Akar Foundation
20. Nagari Institute
21. Link-AR Borneo
22. Perkumpulan Pegiat JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation)
23. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
24. The Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (PROGRESS)
25.
Forest Peoples Programme