Provinsi Jambi memiliki luasan
gambut sebesar 716.838 hektare. Dari luasan tersebut, berdasarkan analisis
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi, sekitar 70 persen atau 400
ribu luas gambut telah dibebankan izin. Gambut merupakan kawasan yang unik.
Lahan gambut adalah timbunan pepohonan, rerumputan, jasad hewan, dan sisa-sisa
materi ogranik lainnya yang terbentuk selama ribuan tahun silam. Gambut yang
berfungsi untuk menyerap karbon serta memiliki ekosistem yang unik dan, justru
kini mengalami kerusakan. Gambut telah dieksploitasi oleh industri kehutanan
dan perkebunan kelapa sawit skala besar. Kedua industri tanaman monoklutur itu
membuka kanal-kanal, mengeringkan air yang menyebabkan alih fungsi lahan gambut
yang berdampak negative besar terhadap kehidupan manusia salah satunya asap
yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan di wilayah gambut.
Beberapa kondisi faktual yang saat ini terjadi yang dapat merusak ekosstem gambut disebabkan beberapa faktor. Yang pertama masifnya pemberian izin kepada pihak industry tidak didukung untuk menstabilisasi daya dukung gambutnya itu sendiri, pada saat UU PPLH belum disahkan.
Beberapa kondisi faktual yang saat ini terjadi yang dapat merusak ekosstem gambut disebabkan beberapa faktor. Yang pertama masifnya pemberian izin kepada pihak industry tidak didukung untuk menstabilisasi daya dukung gambutnya itu sendiri, pada saat UU PPLH belum disahkan.
Faktor yang kedua terjadinya
stigma bahwa gambut itu tidak bisa dikelola masyarakat, dan yang bisa mengelola
hanya korporasi dengan membuka kanalisasi serta sebagainya dan membutuhkan
modal yang besar. Karena prosesnya tidak terkontrol dengan baik, hingga
akhirnya terjadi kebakaran yang sangat parah pertama itu terjadi tahun 1997.
Selanjutnya, faktor yang terparah
adalah pemberian izin yang massif serta tidak terkontrol dengan baik, maka
dampak kebakaran hutan dan lahan semakin meningkat. Selain kebakaran hutan dan
lahan, konflik agrarian juga terjadi di akibatkan tumpang tindih perizinan.
Kemudian puncak dari kehancuran gambut terjadi lagi pada 2015 yang menyebabkan
kebakaran hutan dan lahan. Gambut tidak lagi menjadi wilayah serapan air yang
banyak, tapi lebih banyak mengeluarkan air sehingga relatif rentan terbakar.
Itu terus menerus terjadi kebakaran sampai sekarang dan seharusnya tahun 2015
itu pemerintah merefleksi bagaimana model tata kelola lahan gambut, tapi
ternyata sistem masih menggunakan pengelolaan spot by spot.
Baca Juga : Senjakala Ekosistem Gambut Jambi(Bagian III - Selesai)
Baca Juga : Senjakala Ekosistem Gambut Jambi(Bagian III - Selesai)
Posting Komentar