Jakarta (12/3/2019). Koalisi beberapa LSM di Kalimantan dan Sumatera mendesak APP untuk bertanggung
jawab menyelesaikan ratusan konflik lahan akibat operasional APP dan perusahaan pemasoknya di
seluruh Indonesia. Hal ini didasarkan pada hasil asesment Koalisi LSM atas konflik lahan yang
terjadi sepanjang tahun 1996 – 2017 tersebar di seluruh provinsi di Indonesia di mana APP dan
pemasoknya beroperasi.
Di awal Februari tahun 2013, APP meluncurkan komitmen pengelolaan keberlanjutan yang dikenal
dengan Forest Conservation Policy (FCP). APP menyatakan salah satunya melaksanakan FPIC
(Padiatapa) dalam pengembangan semua konsesi baru dan semua kegiatan operasinya,
penanganan yang bertanggung jawab untuk semua keluhan dan konflik dan resolusinya, dan
menghormati HAM.
“ Implementasi komitmen FCP untuk isu sosial masih sangat kami pertanyakan. Banyak konflik
APP dan pemasoknya dengan masyarakat Riau yang terjadi di masa lalu namun tidak jelas
penyelesaiannya” Isnadi Esman, Anggota Koalisi dari Riau menyampaikan.
Rudiansyah, Koordinator Koalisi mengungkap bahwa sejak mulai beroperasi hingga sekarang
terdapat 122 konflik tersebar di 5 Provinsi dimana APP beroperasi : Riau, Jambi Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Jumlah ini berbanding lurus dengan semakin luasnya
wilayah konsesi perusahaan. Konflik aktif yang pada asesmen ini dilakukan (Januari – November
2018??) terjadi di Riau (54 konflik), Jambi (33 konflik), Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat
masing-masing 17 konflik, dan Kalimantan Timur tercatat 1 kasus. Dari 38 pemasok APP, sebanyak
22 perusahaan berkonflik dengan masyarakat di sekitar konsesi APP. Secara berurutan konflik yang
terjadi banyak melibatkan isu sengketa lahan masyarakat/adat, kekerasan/intimidasi/penggusuran,
tata batas konsesi dan desa. Selebihnya menyangkut dampak kepada, mata pencaharian, Tanaman
kehidupan, dan fee kerjasama dengan perusahaan. Selain konflik yang aktif terjadi, potensi konflik
dapat terjadi di wilayah yang berbatasan dengan APP dan pemasoknya. “ Studi ini mengidentifikasi
602 potensi konflik terkait operasional APP di Indonesia dengan melibatkan luasan konsesi seluas
2,2 juta ha.
Anggota Koalisi dari Sumatera Selatan, Dedi menambahkan, “ Hadirnya pabrik kertas PT. OKI
Paper dan Paper di Sumatera Selatan semakin menambah panjang daftar konflik aktif dan potensi
konflik sosial perusahaan HTI dengan masyarakat, lebih buruk lagi kehadiran PT. OKI pulp yang
menyebabkan akses ke daerah gambut lebih terbuka dan kebutuhan bahan baku yang tinggi, turut
meningkatkan resiko kebakaran di gambut”.
“ Jumlah konflik aktif yang terjadi dan belum terselesaikan, ditambah dengan besarnya potensi
konflik muncul di masa mendatang, mestinya menjadi alarm bagi APP untuk secara serius
menunjukkan komitmen pengelolaan berkelanjutan FCP terutama terkait isu sosial. Atau janganjangan FCP hanya menjadi alat brainwash APP agar nama dan produknya tetap aman dan diterima
di pasar global” Rudiansyah menambahkan.
Atas dasar tersebut, Koalisi LSM mendesak :
- APP harus menunjukkan keseriusan dalam mengimplementasikan komitmen FCP terkait isu sosial dengan masyarakat yang dimulai dengan membuka kepada publik jumlah konflik yang telah mereka identifikasi, konflik yang telah diselesaikan dan lokasi serta mekanisme penyelesaian konflik dilakukan, serta upaya terukur dalam penyelesaian dan pencegahan konflik lahan.
- Pemerintah dalam hal ini KLHK memantau proses dan tahapan penyelesaian konflik terkait APP dan pemasoknya di Indonesia.
- Banyaknya konflik aktif yang tak terselesaikan dan potensi konflik yang saangat besar terjadi disekitar konsesi APP dan pemasoknya, maka kami mendesak KLHK untuk melakukan review izin-izin HTI yang sudah ada.
- Pembeli, pendukung pendanaan dan Pasar Global untuk tidak membeli dari APP hingga persoalan konflik sosial dengan masyarakat diselesaikan.
KOALISI LSM UNTUK MASYARAKAT
- JIKALAHARI
- Kaliptra Riau
- JMGR
- HaKI
- WALHI JAMBI
- WALHI SUMATERA SELATAN
- WALHI KALIMANTAN TIMUR
- LINKAR BORNEO Kalimantan Barat
- JMGJ
Posting Komentar