Jambi
– Pemerintah
Republik Indonesia memang terlihat terus berupaya mengatasi setiap persoalan
yang dialami oleh masyarakat, langkah-langkah tersebut dibuktikan melalui
kebijakan-kebijakan dan program-program yang berkaitan dengan tujuan
kesejahteraan. Problem yang paling mendasar pun tidak luput dari sorotan setiap
program dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti salah satunya
program percetakan sawah yang termasuk dalam program nawacitanya rezim Jokowi-Jk.
Hal tersebut dilakukan mengingat angka ketergantungan masyarakat terhadap
pangan impor masih sangat tinggi, padahal Indonesia dikenal sebagai Negara agararis,
tentu saja hal ini menjadi PR besar bagi pemerintah dan harus segera diatasi.
Namun tidak semua keinginan
pemerintah dapat berjalan dengan lancar. Di beberapa wilayah, program yang
seharusnya bertujuan menyelesaikan masalah pangan ini, dalam implementasinya
tidak jarang muncul masalah baru. Di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, pada
tahun 2017 program cetak sawah yang ditargetkan seluas 1.000 ha, hanya mampu
direncanakan objeknya seluas 215 ha. Hal ini tentu sangat jauh dari target.
Kasus yang ditemukan WALHI Jambi
di lapangan ternyata salah satu penyebab tidak terlaksananya secara penuh
program nawacita Jokowi ini adalah tumpang tindih kepemilikan lahan masyarakat
dengan izin perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Seperti
yang terjadi di Desa Kembang Seri, Kecamatan Muaro Sebo Ulu, Kabupaten
Batanghari, lahan persawahan warisan nenek moyang mereka yang dikelola secara
mandiri dan turun-temurun ternyata masuk dalam kawasan izin perkebunan PT. Adimulia
Palmo Lestari (APL).
Hingga saat ini, persoalan
tersebut belum menemukan titik terang baik dari pemerintah yang berwenang
maupun pihak perusahaan selaku pemegang izin. Di dalam kawasan lahan yang
bermasalah pun PT. APL terus melakukan aktifitas pembukaan lahan perkebunan
kelapa sawit. Sempat ada aksi protes yang dilakukan warga Desa Kembang Seri,
namun PT. APL malah balik melakukan intimidasi menggunakan aparat hukum, petani
yang memprotes tidak membolehkan ada aktifitas di dalam kawasan yang bermasalah
dilaporkan oleh PT. APL dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.
“Jika aksi protes yang kami
lakukan disebut sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan, maka perbuatan PT.
APL terhadap petani di sini jauh lebih tidak menyenangkan. Mengapa lahan sawah
yang kami garap secara turun temurun bisa masuk di dalam izin perusahaan, tanpa
adanya sosialisasi kepada masyarakat Desa Kembang Seri, terutama kepada yang
memiliki hak milik di lahan persawahan itu,” ungkap Yani, salah satu masyarakat
Desa Kembang Seri, di Kantor Walhi Jambi, Selasa (30/1/2018).
WALHI Jambi selaku penerima
mandat masyarakat dari Desa Kembang Seri untuk mendampingi kasus ini, akan
terus mendorong dan mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan dalam
permasalahan ini. Karena, jika tidak segera diselesaikan maka program nawacita
Jokowi dianggap gagal dalam upaya mengatasi problem ketahanan pangan di negeri
yang agraris ini. Demikian disampaikan Abdullah, salah satu aktivis WALHI Jambi
yang terlibat dalam melakukan advokasi.
“Dari upaya-upaya penyelesaian
yang telah kami lakukan bersama masyarakat, pemerintah terkesan mengulur-ngulur
permasalahan ini. Jika kedepan pemerintah masih belum tanggap dalam
peneyelesaian kasus ini, maka sudah dapat dipastikan program cetak sawah gagal,
dan dapat dipastikan juga bahwa pemerintah khususnya di Provinsi Jambi lebih
memprioritaskan perkebunan kelapa sawit,” paparnya, Selasa (30/1/2018). ***
Posting Komentar