“Jangan Penjarakan
saya pak polisi , pekerjaan saya hanya
sebagai Petani, pembantu dan mencuci baju tetangga, saya jangan dimasukkan ke
penjara”
(Ibu Enny Tiurmaida
Pangabean)
Enny Tiurmaida Pangabean, pertengahan Tahun 2017 ini usianya genap 50
tahun. Sebelum hijrah ke Jambi, ibu Eny
bekerja disalah satu Perusahaan perkebunan Kelapa sawit yang berada di
Sumatra Utara. Menjadi buruh harian lepas, sudah menjadi aktivitas
kesehariannya. Hingga ditahun 1990, ibu dinikahi oleh seorang laki-laki bernama
Siahaan, yang juga bekerja bersama ibu Enny.
Menjelang dua tahun sesudah pernikahannya, Ibu Enny dan suami hijrah
ke Riau dan bekerja kembali disalah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit
yang berada disana. Sepanjang tahun 1992 hingga 2005, ibu Enny dan suami masih
tetap menjadi buruh harian lepas perkebunan kelapa sawit. sampai ditahun 2006,
ibu Enny mendapatkan tawaran dari salah
satu teman yang masih satu marga
untuk merawat kebun sawitnya. Dari hasil bekerja merawat kebun kelapa sawit
milik temanya, ibu Enny dan suaminya bisa membiayai sekolah kedua anaknya dari hasil pernikahannya.
Ditahun 2009, ibu Enny dan suaminya mendapat informasi bahwa ada pemekaran disalah satu desa di Provinsi
Jambi, tepatnya di Desa Pemayungan Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo. Berbekal
uang simpanan ibu Eny dan suaminya, mereka memutuskan untuk hijrah ke Desa
Pemayungan dan membeli satu hektare lahan dengan harga 1,5 Juta. Setelah
membeli lahan seluas satu hektare, Ibu Enny dan suami mengurus administrasi
kependuduaknnya. Dengan membuat kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga
(KK) Desa Pemayungan Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.
Lahan seluas satu hektare yang dimiliki oleh Ibu Enny dan suaminya
kemudian dikelola menjadi lahan persawahan, dengan komoditi padi. Karena secara
topografi, lahan yang dimiliki ibu Enny dan masyarakat lainnya di lokasi
tersebut, sedikit rendah dan berair, sehingga cocok untuk dikelola menjadi
persawahan.
Diwilayah Provinsi Jambi, wilayah-wilayah yang diperuntukkan oleh
masyarakat sebagai lahan persawahan biasanya diistilahkan dengan wilayah perumoan, sehingga kalau seseorang
ingin pergi kelahan sawah, disebutnya sedang beumoh. Khusus untuk diwilayah
gambut, masyarakat Jambi memiliki kearifan lokal sendiri untuk menentukan
wilayah perumoan, letaknya berada diwilayah yang sedikit rendah dan berair,
dengan kedalaman gambut tidak lebih dari setengah meter. Karena jika membuka wilayah
perumoan dikedalam lebih dari setengah meter, itu akan merusak ekosistem gambut
karena tingkat keasamannya tinggi.
Langkah pertama dalam memulai persiapan masa tanam adalah membersihkan
lahan perumoan dari semak dan rumput, kegiatan ini biasa disebut oleh
masyarakat sebagai kegiatan "mengorot".
Setelah semak dan rumput dikumpulkan menjadi satu dan kering, langkah kemudian
membakarnya.
Setelah membakar rumput dan semak yang sudah dikumpulkan dan kering,
tahap berikutnya adalah masyarakat melakukan kegiatan penyemaian bibit padi,
dilakukan disela-sela lahan yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Setelah 2 minggu penyemaian baru dilakukan pemindahan hasil semaian
kelahan yang yang sudah dibersihkan. Tahap berikutnya setelah tanaman padi
tumbuh besar, dilakukan pembersihan rumput disekitar tanaman padi, kegiatan ini
disebut dengan istilah "ngaur"
dan bila perlu dilakukan penyemprotan hama jika terdapat hama disekitar tanaman
padi .
Sesudah buah padi menguning, kemudian dilakukan pemanenan, istilah ini
disebut kegiatan "menuai". Setelah dipanen, kegiatan berikutnya
adalah "ngiri" atau
kegiatan memisahkan padi dari batangnya. Yang kemudian diteruskan dengan
kegiatan "menampi" dengan
alat tampah untuk memisahkan padi yang berkualitas (ada isinya) dan tidak berkualitas
(tidak ada isinya).
Setelah dipisahkan antara padi yang berkualitas, kemudian dilakukan
penjemuran padi yang berkualitas baik. Tahap terakhir adalah proses menggiling
padi yang sudah terjemur dan kering.
proses mengorot sampai menggiling dibutuhkan waktu mencapai 6-7 bulan
lamany. Istilah penggillingan karena dilakukan dengan alat bantu mesin
penggiling, namun jika menggunakan cara tradisional disebut "kisaran".
Proses menggiling biasanya ditentukan jumlahnya sesuai kebutuhan
masyarakat masing-masing dan biasanya tahap pertama menggiling diperuntukan
untuk kebutuhan makan 1 bulan lamanya dan seterusnya. Bagi masyarakat yang
memiliki hasil produksi panen lebih untuk makan sampai masa panen berikutnya
akan dijual.
Pada hari Senin tanggal 17 Juli 2017, Ibu Enny memberanikan diri untuk
melakukan aktivitas persiapan penanaman padi di lahan miliknya. Seperti halnya
diwilayah-wilayah lain, aktivitas pertama yang dilakukan untuk memulai menanam
padi adalah melakukan pembersihan semak dan rumput. Keputusan itu dilakukan oleh ibu Enny, karena
secara kearifan lokal di Desa Pemayungan, Bulan Agustus sampai September adalah
bulan yang baik untuk memulai aktivitas penanaman padi.
Dengan berbekal alat seadanya, Ibu Enny sendiri membersihakn rumput dan semak, yang
dilanjutkan dengan pembakaran rumput dan semak yang terlebih dahulu dikumpulkan
menjadi satu. Setelah hari senin ibu Enny melakukan pembakaran, api telah padam
hingga empat hari berikutnya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak, karena lima hari kemudian tepatnya hari Sabtu tanggal 22 Juli 2017, ketika
ibu Enny sedang melakukan kebaktian dirumah ibadah, api kembali muncul.
Setelah mendapat informasi bahwa api kembali hidup dilahannya, ibu
Enny berupaya untuk memadamkannya dengan alat semprot. Karena api semakin
membesar, Ibu Enny tidak bisa memandamkannya, hingga api terus meluas
dilahannya hingga membakar lahan seluas
satu hektare.
Dihari kejadian, aparat kepolisian kemudian datang kelokasi untuk
mengecek situasi kebakaran dan disusul kemudian pada malam harinya mendatangi
kediaman Ibu Enny. Saat pihak kepolisian mendatangi kediaman rumah ibu Enny,
kepala Desa Pemayungan bersama kepala RT sudah berada dikediaman Ibu Enny dan
memberikan jaminan kepada kepolisian, bahwa ibu Enny tidak akan melarikan diri.
Beberapa masyarakat lainnya yang berada di Desa Pemayungan,
menyarankan Ibu Enny dan sekeluarga untuk melarikan diri. Namun saran itu tidak
dilakukan oleh Ibu Enny dan keluarganya.
Pada hari Minggu tanggal 16 Juli 2017, ibu Enny dan suami bersama
kepala Desa Pemayungan pergi kesalah
satu posko perusahaan yang saat itu banyak pihak kepolisian dan memberikan
pengakuan atas perbuatan ibu Enny. harapan ibu Enny bersama suami dan kepala
Desa Pemayungan menemui pihak kepolisian, agar bisa persoalan kebakaran yang
terjadi bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
Namun hal tersebut tidak sesuai dengan harapan, karena tidak lama
setelah pengakuan diberikan ibu Enny, aparat kepolisian yang berada dislokasi
langsung membawa ibu Enny dan suami dengan menggunakan mobil menuju Polres
Tebo. Sesampainya di Polres Tebo, ibu Enny diproses oleh kepolisian dan
langsung dimasukan kedalam sel tahanan.
Sebelum ibu Enny dimasukan kedalam sel tahanan Polres Tebo, suami Ibu
Enny memohon kepada pihak kepolisian agar melakukan penahanan kepada ibu Enny,
karena perbuatan ibu Enny semata-mata hanya untuk mencukupi kehidupannya. Namun
kepolisian Polres Tebo tetap melakukan penahanana terhadap Ibu Enny.
Dengan menangis terisak –isak, Suami Ibu Enny mencoba untuk memberikan
ketabahan kepada istrinya “Sabar lah
buk, jagalah kesehatanmu, mudah-mudahan
kamu diberikan Tuhan hidup lama, agar kita bersama lagi dengan anak-anak.
mudah-mudahan kamu diberikan hukum seringan-ringannya oleh hakim dan kita
saling berdoa”.
Keputusan Ibu Enny menolak
tawaran masyarakat untuk lari dari proses hukum, merupakan tindakan yang sangat
bertolak belakang dengan tindakan para perusahaan pembakar lahan khususnya di
Jambi. Dari 46 perusahaan di Jambi yang terindikasi wilayah konsesinya terbakar
ditahun 2015, hampir seluruhnya mengerahkan kemampuan yang dimiliki untuk bebas
dari proses hukum, dengan tidak mau mengakui kesalahan atas peristiwa kebakaran
diwilayah konsesinya.
Proses hukum terhadap Ibu Enny
Tiurmaida Pangabean, akan menjadi awal dari sekian banyaknya penangkapan oleh
aparat hukum terhadap masyarakat yang berprofesi menjadi petani. Hal tersebut
dikuatkan dengan telah diterbitkannya PERDA Provinsi Jambi No 2 Tahun 2016, tentang pencegahan dan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Karena didalam PERDA Provinsi Jambi No
2 Tahun 2016, dengan tegas akan melakukan tindakan hukum terhadap masyarakat
yang membuka lahan dengan metode bakar.
PERDA No 2 Tahun 2016 ini tak ubah seperti kebijakan politik
ugal-ugalan, karena terkesan dipaksakan
baik secara penyusunan maupun penerapnnya. Karena pelarangan membuka lahan
dengan cara bakar, tidak diikuti dengan metode pilihan lainnya yang bisa
dilakukan oleh masyarakat. Sehingga masyarakat khususnya petani, terkondisikan
untuk tidak memiliki pilihan menguntungkan lainnya untuk bertahan hidup sebagai
petani.
Dan dalam waktu kedepan, kegiatan kebaktian yang selalu dihadiri oleh
ibu Enny dirumah ibadah yang tidak jauh dari rumahnya, akan berlangsung tanpa
kehadirannya. Dengan meminjam kutipan catatan harian seseorang ini, saya
berharap ibu Enny tetaplah menjadi Ibu Enny yang sebelumnya, religius dan
mengabdikan diri untuk suami dan anak-anaknya.
“Memang
tidak mengenakan didalam penjara, semua harus menuruti aturan tanpa ada hak
menawar sedikitpun. Beruntung kami memiliki Tuhan, yang selalu kami jadikan tempat untuk menautkan hati dan
pikiran, jika tidak, apalah bedanya kami
dengan hewan - hewan yang berada dipeternakan, yang hanya bisa menunggu saat
kematian”
Tulisan ini didedikasikan khusus untuk Ibu Enny yang saat ini menjadi
tahanan Polres Tebo, Jambi. karena melakukan pembukaan lahan ( merun ) dikebun miliknya,
yang mengakibatkan kebakaran meluas hingga 1 hektare. (Dwi)